Kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari didunia ini adalah : Dimana-mana ada manusia, kita sendiri juga mahluk manusia yang tinggal disebuah tempat dari belahan bumi.
Sejak kecil kita bergaul dengan ibu, ayah, kakak, adik, nenek, kakek, saudara, tetangga, teman, yang semuanya mahluk manusia.Kemanapun kita berada, pergi dan berurusan, tentu berhubungan dengan bangsa kita sendiri, yaitu sama-sama bangsa manusia.
Sebagai orang yang punya perasaan instinktif dan pikirannya selalu jalan, hati kecilnya tentu bertanya : Didunia ini ada begitu banyak manusia yang menjalani kehidupan diberbagai tempat, dikota, didesa, dibeberapa benua, negara, didaerah tropis maupun dipinggir kutub, ada pemukiman manusia.
Perjalanan waktu dan sejarah telah menunjukkan perkembangan manusia, sejak masa primitif sampai era modern ini.Kehidupan telah menunjukkan bahwa mahluk manusia dan mahluk-mahluk lain yang berbadan fisik seperti bermacam hewan, berkembang dan beranak pinak melalui perantaraan induk yang dibuahi pejantannya.
Pada manusia, dengan bunga-bunga kalimat sastra, dikisahkan melalui paduan kasih seorang wanita dan pria terkasihnya, istri dengan suami, terlahirlah buah cinta yang disebut bayi.
Perkembangan nama manusia
Pada zaman dahulu kala , manusia berkomunikasi antar sesama melalui perasaan dan pikiran ,istilah asingnya : through their mind. Pada masa mula-mula manusia dibumi, perasaan dan pikiran ( mind) para nenek moyang bangsa manusia sangatlah peka, tajam sekali. Dengan melalui rasa dan pikiran dan saling melihat saja, mereka bisa saling mengerti.Memang, dizaman mula tersebut, kekuatan telepati manusia tajam sekali. Ini juga satu anugerah dari alam, dari Gusti.
Lece
Kemudian, mulai muncul bahasa isyarat, lalu secara bertahap, suara yang keluar dari mulut semakin teratur dan lama-lama bisa dikendalikan sehingga sinkron dengan kehendak yang dikendalikan otak.
Menurut Kejawen, mahluk manusia dimasa itu disebut : Lece, dimana komunikasi masih dengan bahasa isyarat dan lengkingan-lengkingan suara yang belum teratur.
Mudita
Mudita adalah sebutan untuk orang, ketika orang sudah bisa menyebutkan nama barang-barang yang ada didunia ini dan selanjutnya muncul kata-kata sifat.
Kata-kata yang mulai dipakai adalah benda-benda yang ada disekitarnya, seperti : aku, kamu, nama-nama makanan seperti juwawut, padi; nama-nama buah-buahan, nama-nama binatang seperti ikan, burung, kambing, sapi dsb. Lalu dikenal nama-nama benda alam seperti : tanah, bumi, matahari, langit, air, api, bulan, bintang, angin dsb. Sesudah itu kata-kata yang berhubungan dengan rasa seperti : panas, dingin, terang, gelap, enak, sakit, manis, pahit, kecut, asin dsb.
Jadi sejak ada Mudita, bahasa mulai berkembang. Rupanya, mudita telah diberi kuasa oleh Sang Pencipta, Tuhan, untuk memberi nama semua hal yang ada dialam ini. Orang-orang tua kita berkata, kalau tidak ada mudita , tak ada kata-kata dan bahasa: Kabeh ora kocap – Segala hal tak terucapkan.
Manusia
Pada perkembangan lebih lanjut, mudita disebut manusia, yaitu mahluk yang punya malu.
Manusia dari manuswa. Manu artinya malu dan swa artinya hewan. Seseorang yang tidak punya rasa malu dikatakan berwatak seperti hewan.
Rupanya peradaban mulai meningkat, manusia punya malu, tidak seperti hewan.
Wong, Wahong
Menurut pemahaman Kejawen, ketika orang sudah disebut manusia, budaya dan peradaban berkembang lebih cepat.
Ada orang-orang tua bijak yang tajam dan bening rasa hatinya. Melalui mereka, manusia menerima pembelajaran kembali tentang esensi kehidupan.
Manusia, semua mahluk, tetumbuhan, benda dibumi, tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari alam, karena merupakan bagian alam.Untuk itu, sejak dulu manusia sadar untuk harus melestarikan, menjaga , merawat alam ini sebaik-baiknya, karena tanpa alam tidak ada eksistensi manusia dibumi ini. Kalau bumi dan alam rusak, hidup dan eksistensi manusia terancam. Ini sebenarnya adalah sebuah pemahaman klasik!
Alam raya beserta segala isinya termasuk manusia berada dalam keadaan seperti ini, setelah melalui proses yang teramat panjang. Keberadaan alam beserta isinya termasuk umat manusia karena dikehendaki dan dicipta oleh Sang Pencipta Alam, yang dalam perkembangannya dipuja dengan asma: Gusti, Pangeran, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Welas Asih ( dan tentu nama-nama Tuhan dalam berbagai agama dan bahasa).
Menurut pemahaman Kejawen, manusia sebelum terlahir didunia ini dengan perantaraan ibu dan bapak, adalah suksma, spirit yang berada dialam asal muasal dibawah kuasa langsung Gusti.
Jadi, manusia adalah suksma, spirit yang memakai pakaian raga fisik dan raga halus untuk menjalani kehidupan didunia ini.Dewa -dewi adalah juga mahluk ciptaan Tuhan yang berujud spirit, yang esensinya adalah cahaya, sama dengan esensi suksma. Oleh karena itu, pinisepuh Kejawen menyebut orang : Wahong, artinya anak keturunan atau berasal dari dewa.Dalam perkembangan bahasa, kata wahong berubah menjadi wong, artinya orang.Lalu kita sering mendengar ungkapan : wong Jawa, wong Sunda, wong Indonesia, wong Asia, wong Amerika dsb.
Tiyang, Ti Hyang
Dalam bahasa Jawa krama inggil, bahasa halus, wong adalah tiyang dari kata Ti Hyang, berasal dari dewa, spirit.
Dalam kehidupan ini, sangat sedikit orang yang menyadari bahwa dia itu sebenarnya adalah suksma/roh yang berpakaian badan kasar dan badan halus. Padahal ini adalah pemahaman kunci bagi Kejawen dan spiritualitas universal.
Kenalilah dirimu yang sejati
Pada umumnya ,dikarenakan pengaruh kuat dari keperluan materi dan duniawi dalam kehidupan ini, banyak orang yang lupa kehidupan sejati, tidak tahu asal muasalnya dan esensi hidupnya.
Yang hidup adalah suksma/roh yang berada dibadan orang. Kalau suksma/roh kembali ke asal muasal karena berbagai alasan, maka orang itu mati. Sedangkan suksma tetap hidup dan kembali pulang ketempat asal muasal dialam kelanggengan, ada yang memberi istilah : kembali ke haribaan Tuhan.
Tuhan juga tak berwujud fisik, Beliau adalah Sang Pencipta, Sang Suksma Agung.
Yang bisa berkomunikasi dengan cara terhalus dengan Gusti, Sang Suksma Agung, adalah suksma yang berada diraga manusia. Oleh karena itu, seorang manusia seharusnya mengenali diri sejatinya, pribadi sejatinya , yang adalah suksma.
Itulah sebabnya kenapa para spiritualis, orang-orang bijak sering berkata : “ Kenalilah dirimu sendiri”, istilah asingnya “ Know thyself”.
Orang akan memahami dan mengalami kehidupan didunia dengan tentram bahagia ( dan tidak larut arus kehidupan yang tidak baik dengan berebut harta, kekuasaan dan berbagai macam akal-akalan yang tidak baik); sesudah dia bisa akrab dengan suksma-nya, yang adalah diri sejatinya, Sang Pribadi, istilah asingnya Higher Self.
Itulah yang dikatakan orang yang telah mendapatkan pencerahan secara spiritual, telah akrab dengan Sang Suksma, Pribadi Sejati, Higher Self, selalu akan sadar akan misi hidupnya dari Gusti, Tuhan, Sang Suksma Agung.
Hidupnya didunia pasti membawa misi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan jagat ini.
Kenapa suksma berada didunia?
Ini pertanyaan yang menggelitik, yang sejak dulu tidak henti-hentinya dilontarkan.
Suksma mendapat kesempatan dari Tuhan untuk berkiprah didunia dan menjalankan suatu misi, suatu tugas yang mesti dilaksanakan sebaik-baiknya sampai tuntas.
Ungkapan yang lebih lugas menyatakan : Suksma harus sekolah didunia.
Sayangnya, Sang Suksma ketika sudah sampai dibumi dan berujud manusia, menemui banyak hambatan dan goda dalam menjalankan misinya. Hubungan sang suksma dengan kendaraan yang dipakainya, manusia dengan egonya, tidak sinkron. Ini disebabkan si manusia terlalu didominasi oleh elemen-elemen duniawi , maunya hanya memenuhi keinginan materi dan duniawi yang penuh nafsu, meninggalkan esensi spiritualnya.
Menyiasati hal ini, pinisepuh Kejawen tidak bosan-bosannya mengingatkan : Eling lan waspada- Sadar dan waspadalah, siapa dirimu sebenarnya dan apa tugas sejatimu didunia.
Hidup bagai roda berputar.
Ajaran Timur termasuk Kejawen mempercayai bahwa kehidupan seseorang itu seperti roda yang berputar, istilah kebatinannya : Cakra manggilingan.
Artinya, satu saat suksma turun menetap sementara didunia, pada saat lain dia berada dialam suksma, lalu dapat tugas lagi dibumi dan seterusnya ,selalu berputar.
Jadi, spiritualitas Timur percaya kepada adanya inkarnasi dan reinkarnasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah hidup bagai roda, cakra manggilingan diartikan : Jalan hidup seseorang ,satu ketika bisa susah, lain kali mengalami masa jaya, makmur.
Perjalanan suksma, berasal dari mula-mula, kemudian dapat tugas dari Tuhan untuk tinggal dibumi, lalu kembali lagi ke alam mula-mula alamnya suksma, itu merupakan perjalanan yang benar.
Karena ada banyak suksma, sesudah orangnya meninggal, tidak mulus kembali kealam mula-mula. Dia nyasar pulangnya, karena telah membuat kesalahan fatal ketika berada didunia. Dia telah berbuat/membiarkan terjadinya perbuatan yang tidak baik dan melakukan dosa.
Mengenai hal ini, akan kita kupas kemudian.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas, kita akan membicarakan tentang terjadinya jagat raya dan bumi ini, tempat mahluk manusia bertempat tinggal.
0 komentar:
Posting Komentar